Tahun 62 H, suami dan anaknya syahid di perang Sajistan. Ketika kabar duka datang, Muadzah sabar berserah diri kepada Allah. Banyak yang datang menyampaikan belasungkawa.
Muadzah berkata kepada mereka, "Selamat datang kepada kalian, jika kalian datang untuk menyampaikan ucapan selamat. Namun jika kalian datang bukan untuk tujuan tersebut, pulanglah!"
Para pelayat kagum dengan kesabaran Muadzah. Peristiwa ini semakin menambah tinggi kedudukan dan posisinya di mata mereka.
Ummu Al-Aswad binti Zaid Al-Adawiyyah yang pernah disusui oleh Muadzah berkata, "Muadzah berkata kepadaku saat Abu Ash-Shahba dan anaknya terbunuh, 'Demi Allah wahai putriku, tidaklah kecintaanku untuk tetap tinggal di dunia untuk kesenangan hidup dan ketenangan jiwa. Tapi sungguh, aku tidak suka tetap tinggal kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai cara. Semoga Allah mengumpulkan antara diriku dengan Abu Ash-Shahba beserta anakku di surga."
Sepeninggal suaminya, Muadzah masih hidup lebih 20 tahun. Setiap hari dilewatinya dengan ibadah, dan mempersiapkan diri bertemu dengan Allah. Dia berharap dapat berkumpul kembali dengan suami dan anaknya dalam naungan kasih sayang-Nya.
Dikisahkan saat menjelang ajal, Muadzah menangis kemudian tertawa. Lalu ia ditanya, "Apa alasan untuk menangis, dan apa alasan untuk tertawa?"
Dia menjawab, "Adapun tangisanku yang kalian lihat, karena aku mengingat perpisahan dengan aktivitas puasa, shalat dan dzikir. Itulah tangisan tadi. Adapun senyuman dan tawa, karena aku melihat Abu Ash-Shahba telah menyambutku di beranda rumah dengan dua kalung berwarna hijau. Dan ia bersama dalam rombongan. Sungguh aku tidak melihat mereka mempunyai kalung yang menyamainya, maka aku tertawa."
Itulah firasatnya. Ia wafat sebelum masuk waktu shalat, pada tahun 83 H. Muadzah termasuk shahabiyyah yang patut diteladani umat Islam, khususnya kaum Muslimah
WINDS
No comments:
Post a Comment